BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hutan
mangrove adalah sekelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai
tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang
mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.
Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang
tumbuh di daerah pasang surut ( terutama di pantai yang terlindungi, laguna,
muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam ( Santono, et al. 2005
).
Hutan
mangrove di Indonesia, yang terbagi kedalam 2 (dua) zone wilayah geografi
mangrove yakni Asia dan Oseania, kedua zona tersebut memiliki keanekaragaman
tumbuhan, satwa dan jasad renik yang lebih besar disbanding Negara-negara
lainnya. Hal ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari satu pulau ke
pulau lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumberdaya hutan
mangrove dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem yang
masing-masing menampilkan kekhususan dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat
di dalamnya ( Santono et al, 2005 ).
Vegetasi
sebagai komponen dalam ekosistem hutan merupakan hal yang sangat kompleks
sehingga pengkajiannya tidak mudah di lakukan. Untuk menganalisis suatu
vegetasi, dibutuhkan data taksonomi tumbuhan beserta data biologinya tumbuhan
tersebut. Data analisis vegetasi dapat member berbagai informasi dalam aspek
ekologi, misalnya mengetahui profil luar suatu vegetasi serta upaya konservasi
kawasan mangrove.
Kawasan
hutan mangrove di MIC Bali yang merupakan kawasan Hutan Raya yang dikelola oleh
Balai Pengelolaan Hutan Mangrove merupakan salah satu komunitas dengan vegetasi
mangrove yang sangat beragam. Wilayah intertidal yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut di kawasan mangrove di areal Tahura di Bali ini memiliki zonasi
mangrove yang berbeda dan merupakan kawasan hutan mangrove yang tumbuh secara
alami.
Kawasan hutan
mangrove di Taman Hutan Raya Bali ini memilki komposisi jenis dan spesies
mangrove yang beragam dengan zonasinya yang unik. Selain itu, kawasan hutan
mangrove ini dijadikan kawasan ekowisata baik bagi wisatawan domestic ataupun
wisatawan mancanegara yang ingin
menikmati panorama keindahan hutan mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai
Denpasar yang dapat di lakukan dengan berjalan santai meniti jembatan sepanjang
1,4 km menuju pantai. Keberadaan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai disamping
sebagai pusat Informasi Mngrove Bali juga berfungsi sebagai paru-paru Kota
Denpasar.Data dasar mengenai komposisi hutan mangrove di lokasi tersebut di
perlukan upaya konsevasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu studi
penelitian analisa vegetasi hutan mangrove kawsan mangrove di MIC bali.
1.2.Tujuan
- Untuk mengetahui perbedaan vegetasi yang mendominasi ekosistem dataran rendah (hutan mangrove).
- Untuk mengetahui vegetasi yang mendominasi di dataran rendah (hutan mangrove).
- Untuk mengetahui kaitan antara karakteristik komponen abiotik dengan jenis vegetasi yang mendominasi di dataran rendah (hutan mangrove).
- Untuk mengetahui perbedaan karakteristik mendasar berkaitan dengan daur materi dan aliran energi dalam ekosistem dataran rendah (hutan mangrove).
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1 Definisi hutan Mnagrove dan Ekosistem Mangrove
Hutan
Mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi
tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang
terletak dibagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut
dan masih dipengaruhi oleh pasang surut,dengan kelerengan kurang dari 8% (
Departemen Kehutanan, 1994 dalam santoso, 2000).
Menurut
Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk
menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai
kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon
dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan
berbunga : Avicennia, Sonneratia,
Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia,
Aegiceras, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2000).
Kata
mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau
masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (
pasang surut air laut ) dan kedua sebagai individu spesies ( Macnae,1968 dalam
Supriharnoyo, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal”
apabila berkaitan dengan komunitas hutan “ mangrove” untuk individu tumbuhan.
Hutan mangrove oleh masyarakat sering juga disebut pula dengan hutan bakau atau
hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau
nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis
tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem
mangrove adalah suatu system di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara
makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang
surut air laut, dan dominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu
tumbuh dalam perairan asin/payau ( Santoso,2000 ).
Gambar 1. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara
darat dan laut telah diketahui mempunyai berbagai fungsi, yaitu seebagai
penghasil bahan organic, tempat berlindung berbagai jenis binatang, tempat
memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung pantai,mempercepat
pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang dan
tannin ( Soedjarwo, 1979 ).
Sebagai salah satu ekoistem pesisir, hutan mangrove
merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi
ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung
garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat ( tempat tinggal ), tempat
mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground),
tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta
sebagaipengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain :
penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industry, dan penghasil
bibit (Soedjarwo, 1997).
2.2 Zonasi
Penyebaran Mangrove
Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke
darat dari laut terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang
berbeda. Dari arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove
yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Mangrove yang
kondisinya buruk karena terganggu, atau berada pada daerah pantai yang sempit,
tidak menunjukan keteraturan dalam pembagian jenis pohon dan zonasi di
sepanjang pantai. Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya difaham dengan jelas.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis
tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah
mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan
seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda. Api-api dan
pedada tumbuh sesuai di zona berpasir, mangrove cocok untuk di tanah berlumpur
dan kaya humus sedangkan jenis tancang menyukai tanah berlempung dengan sedikit
bahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran
bibitnya serta persaingan antar spesies,
merupakan factor lain dalam penentuan zonasi ini (Onrizal, 2007).
Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove
biasanya didahului oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang
memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di
tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Pada
daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis bakau (
Rhizophora spp ). Daerah ini tidak terlalu terendam air, hanya kadang-kadang
saja terendam air. Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya makin menjauhi
laut, kearah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sekali
terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi
dari biasanya ( Onrizal, 2007).
Gambar 2. Zonasi Penyebaran jenis
pohon mangrove (Onrizal, 2007).
2.3 Analisis komunitas Tumbuhan
Analisis kominitas tumbuhan merupakan suatu cara
mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi.
Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa
komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan
yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam
analisis komunits adalah untuk mengetahui komposisi spesies struktur komunitas
pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006).
Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara
deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu
komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh
jumlah individu dari setiap spesies organism (Soegianto, 1994). Lebih lanjut
Soegianto (1994) menjelaskan, bahwa hal yang demikian itu menyebabkan
kelimpahan relative suatu spesies dapat mempengaruhi funsi suatu komunitas,
distribusi individu antar spesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan
pengaruh pada keseimbangan system dan akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas
komunitas.
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif
dan kuantitatif. Dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan
dapat di lakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara
kuantitatif dengan parameter kuantitatif
(Soerianegara & Indrawan , 1998). Namun persoalan yang sangat penting dalam
analisis komunitas adalah bagaimana cara mendapatkan data terutama data
kuantitatif dari semua spesies tumbuhan yang menyususn komunitas , parameter
kuantitatif dan kualitatif apa saja yang di perlukan, penyajian data, dan
interprestasi data, agar dapat mengemukakan komposisi floristic serta
sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh (Arief, 1994)
2.3.1 Parameter Kuantitatif dalam Analisis
Komunitas Tumbuhan
Untuk Kepentingan analisis komunitas tumbuhan
diperlukan kualitatif, hal ini sesuai dengan sifat komunitas tumbuhan itu
sendiri bahwa dia memiliki sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Beberapa
parameter kualitatif komunitas tumbuhan antara lain: fisiognomi, fenologi,
stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, dan bentuk pertumbuhan (Indriyanto, 2006).
1. Fisiognomi
adalah penampakan luar dari suatu komunitas tumbuhan yang dapat dideskripsikan berdasarkan
kepada penampakan spesies tumbuhan dominan, penampakan tinggi tumbuhan, dan
warna tumbuhan yang tampak oleh mata.
2. Fenologi
adalah perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus hidupnya. Bentuk dari
tumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurny, sehingga spesies yang sama dengan
tingkat umur yang berbeda akan membentuk struktur komunitas yang berbeda.
Spesies yang berbeda pasti memiliki fenologi yang berbeda, sehingga
keanekaragaman spesies dalam satu komunitas akan menentukan struktur komunitas tersebut.
3. Stratifikasi
adalah distribusi tumbuhan dalam ruangan vertical. Semua spesies tumbuhan dalam
komunitas tidak sama ukurannya, serta secara vertical tidak menempati ruang
yang sama.
4. Kelimpahan
adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relative spesies
organism dalam komunitas. Menurut penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat
dikelompokan menjadi: sangat jarang, jarang ( kadang-kadang), sering, banyak
atau berlimpah , dan sangat banyak ( sangat berlimpah).
5. Penyebaran
adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan spesies organism pada
ruang secara horizontal, antara lain random, seragam, dan kelompok.
6. Daya
hidup atau vitalitas adalah tingkat keberhasilan tumbuhan untuk hidup dan
tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi.
7. Bentuk
pertumbuhan adalah penggolongan tumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya,
habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Misalnya pohon, semak,perdu, herba
dan liana.
2.3.2 Parameter Kuantitatif dalam Analisis
Komunitas Tumbuhan
Banyak parameter kuantitatif yang dapat digunakan
untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari segi struktur komunitas
maupun tingkat kesamaanya dengan komunitas lainnya. Parameter yang dimaksud
untuk kepentingan tersebut adalah indeks keragaman spesies dan indeks kesamaan
komunitas (Soegianto,1994 dalam indrianto,2006). Kelimpahan setiap spesies
individu atau jenis struktur biasanya dinyatakan sebagai suatu persen jumlah
total spesies yang ada dalam komunitas, dan dengan demikian merupakan
pengukuran yang relative. Secara bersama-sama, kelimpahan dan frekuensi adalah
sangat penting dalam menentukan struktur komunitas (Michael,1994).
Di antara beberapa parameter yang telah disebutkan di
atas akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut:
a. Densitas
Densitas
adalah jmlah individu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain,
densitas merupakan jumlah individu organism persatuan ruang.
b. Frekuensi
Di
dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah
sempel yang berisi suatu sepesies tertentu terhadap jumlah total sempel.
Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat diketemukannya
suatu spesies dari jumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan
besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organism dalam pengamatan
keberadaan organisme pada komunitas dan
ekosistem. Apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, makin banyak
petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, berarti makin besar
frekunesi spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang di
dalamnya ditemukan suatu spesies, makin kecil frekuensi spesies tersebut.
Dengan demikian, sesungguhnya frekuensi tersebut dapat menggambarkan tingkat
penyebaran spesies dalam habitat yang di pelajari, meskipin belum dapat menggambarkan
tentang pola penyebaran.
c. Luas
Penutupan
Luas
penutupan ( Coverage ) adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh
spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan
dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar ( luas basal
area ). Beberapa penulis menggunakan istilah dominasi untuk menyatakan luas
penutupan suatu spesies tumbuhan karena parameter tersebut merupakan bagian
dari parameter yang digunakan untuk menunjukan spesies tumbuhan yang dominan dalam
suatu komunitas.
d. Indeks
Nilai enting
Indeks
nilai penting ( importance value index ) adalah parameter kuantitatif yang
dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi ( tingkat penguasaan )
spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan ( Soegianto, 1994 dalam
Indrianto,2006 ). Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan
akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling
dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar. Mengingat
parameter-parameter terdahulu seperti kerapatan, frekuensi, dan luas penutupan
tidak dapat digunakan satu demi satu untuk menunjukan kedudukan relative
spesies dalam suatu komunitas, maka Curtis dam Mc. Intosh telah mengusulkan
sebuah indeks yang disebut indeks nilai penting (INP) sebagai jumlah kerapatan
relative, frekuensi relative, dan luas penutupan relative. Dengan demikian,
rumus INP dapat di tuliskan sebagai berikut:
INP = KR+ FR+ DR
|
I
Keterangan
:
INP : Indeks Nilai Penting
KR : Kerapatan Relatif
FR : Frekuensi Relatif
DR
: Dominasi Relatif ( Indrianto,
2006).
2.4 Metode
Inventore Hutan
Pengambilan contoh untuk analisis komunitas dapat
dilakukan dengan menggunakan metode petak, metode jalur ataupun metode kuadran.
a. Metode
Petak merupakan prosedur yang paling umum digunakan untuk pengambilan contoh
berbagai tipe organis termasuk komunitas tumbuhan. Petak yang digunakan dapat
berbentuk segiempat, persegi panjang atau lingkaran. Untuk kepentingan analisis
komunitas tumbuhan dapat digunakan petak tunggal atau petak ganda.
b. Metode
jalur merupakan metode yang paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan
vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh
dibuat memotong garis kontur dan sejajar satu dengan yang lainnya.
c. Metode
garis bertapak metode dianggap sebagai modifikasi dari metode petak ganda atau
metode jalur, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam
jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak tertentu yang sama.
d. Metode
kombinasi metode kombinasi yang dimaksud dalah kombinasi dari metode jalur
garis bertepak.
e. Metode
kuadran metode kuadran atu metode titik pusta kuadran adalah metode sampling
tanpa petak contoh yang dilakukn secara efisien dalam pelaksanaannya di
lapangan tidak memerlukan waktu yang lama dan mudah dikerjakan ( Kusuma, 1997
dalam Indrianto 2006). Metod kuadran umumnya dipergunakan untuk pengambilan
contoh vegetasi tumbuhan jika hanya vegetasi pohon yang jd objek kajiannya.
Syarat penetapan metode ini adalah distribusi pohon yang akan diteliti secara
acak. Dengan kata lain, bahwa metode ini
kurang tepat digunakan jika populasi pohon berdistribusi mengelompok atau
seragam ( Soegianto, 1994 dalam Indrianto, 2006)
2.5 Balai Pengelolaan Hutan
Mangrove Wilayah I Denpasar
BPHM
Taman Hutan Raya adalah sebuah Institusi yang secara khusus bertanggung jawab
terhadap pengelolaan hutan mangrove di Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Mentri Kehutanan nomor : P.4 /
Menhut-II/2007 tanggal 6 februari 2007 yang isinya tentang organisasi dan
Tata Kerja Balai Pengelolaan Hutan Mangrove yang secara teknis wilayah kerjanya
dibagi menjadi dua. BPHM-I yang berpusat di Bali mewakili wilayah Jawa, Bali,
Sulawesi, NTB, NTT, Kepulauan Maluku dan Papua. Sedangkan BPHM-II mewakili
wilayah Sumatra dan Kalimantan ( BPHM
2012)
Gambar 3. Wilayah Taman
Hutan Raya Bali ( BPHM 2012)
BPHM
memiliki tugas-tugas seperti penyusunan rencana dan program pengembangan
kelembagaan, pengelolaan system informasi dan pemantau dan evaluasi pengelolaan
hutan mangrove. Salah satu bentuk pengelolaan yang di buat di Tahura adalah
pembuatan Tracking, di manfaatkan untuk para pengunjung yang dating untuk
wisata atau mengadakan studi lapangan di wilayah tahura (BPHM 2012).
Gambar
4. Peta Tracking di Tahura ( BPHM,2012).
BAB
III
PROSEDUR
KEGIATAN
3.1. Tujuan
- Mengenal dan mempelajari karakteristik komponen-komponen penyusun ekosistem dataran rendah (PANTAI), menengah (PERSAWAHAN) dan dataran tinggi (PEGUNUNGAN)
- Membandingkan karakteristik komponen ketiga ekosistem tersebut.
3.2. Bahan
dan Alat
- Ekosistem pantai (Balai Mangrove Bali dan sekitarnya,ekosistem persawahan,ekosistem pegunungan(Kebun Raya Eka Karya Bali dan sekitarnya).
- Thermometer ruangan
- Termometer tanah
- Soil tester
- Barometer
- Kamera digital
- Alat tulis
3.3. Prosedur
Kegiatan
- Bentuk 3 kelompok!
- Lakukan pengamatan di 3 jenis ekosistem di atas (usahakan pengamatan dilakukan pada rentangan jam yang sama) !
- Amati, catat dan foto komponen biotik berupa vegetasi (jenis-jenis tanaman) di masing-masing tipe ekosistem ( pengamatan seluas ± 1 Km2)!
- Ukur dan catat komponen abiotik menggunakan alat yang telah disiapkan pada lokasi yang terkena sinar matahari langsung dan tidak langsung sesuai tabel di bawah!
Ph = (Pu – h/100) cmHg
Ph = tekanan
pada ketinggian h
Pu = tekanan
udara permukaan air laut
h = tinggi
suatu tempat
untuk mencari ketinggian
h = (Pu-Ph) x 100 m
cari tahu melalui media cetak maupun internet mengenai cara menggunakan
termometr, barometer, soil tester.
- Dokumentasikan ( foto dan rekam) setiap data dan kegiatan yang dilakukan
- Masukkan data ke dalam tabel di bawah!
- Jawablah pertanyaan arahannya dalam BAB II, pembahasan!
- Buatlah laporan hasil kegiatan!
- Presentasikan laporan hasil pengamatan sesuai topik ( lihat rangkuman tugas)!
BAB IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil pengamatan yang telah kami lakukan, maka dapat kami rangkum sesuai dengan
pertanyaan dan pembahasan sebagai berikut :
1.
Apakah
terdapat perbedaan vegetasi yang mendominasi masing-masing ekosistem yang
diamati? Jelaskan
2.
Di
luar Kebun Raya Eka Karya Bali, vegetasi apakah yang mendominasi? Apakah seanekaragam seperti di Kebun Raya Eka Karya
Bali atau cenderung homogen? Uraikan argumen Anda!
3.
Apakah
ada kaitan antara karakteristik komponen abiotik dengan jenis vegetasi yang
mendominasi? Jelaskan
4.
Apakah
ada tanaman yang ditempatkan dalam rumah kaca? Jika ada, uraikan alasannya
5.
Manakah
yang termasuk ekosistem alami dan ekosistem buatan? Jelaskan perbedaan
karakteristik mendasar berkaitan dengan daur materi dan aliran energi dalam ekosistem tersebut!
JAWABAN:
1.
Ada. Terdapat perbedaan vegetasi yang
mendominasi di Mangrove, Kebun Raya Bedugul dan sawah. Adapun tanaman yang
mendominasi di Mangrove adalah tanaman bakau, jika di Bedugul tanaman yang
mendominasi adalah tanaman hortikultura, sedangkan di sawah yang mendominasi
adalah tanaman padi. Jadi terdapat
perbedaan tanaman yang signifikan diantara ketiga tempat tersebut.
2.
Vegetasi yang mendominasi baik di sawah
maupun Mangrove cenderung homogen. Tanaman yang mendominasi Sawah adalah
tanaman padi sedangkan yang mendominasi Mangrove adalah tanaman bakau.
3.
Ada kaitan antara karakteristik komponen
abiotik dengan jenis vegetasi yang mendominasi (tanaman bakau) yaitu komponen
air dan tanah (abiotik) terhadap tanaman bakau di Mangrove, dimana tanah yang
berlumpur lebih sering tergenang air sehingga tanaman bakau beradaptasi dengan
akar yang tinggi dan panjang untuk menunjang kehidupannya dalam penyerapan
nutrisi dan oksigen serta daun yang tebal untuk mengurangi penguapan, sedangkan
kaitan komponen abiotik terhadap tanaman padi di sawah yaitu bentuk akar yang
jauh berbeda dengan tanaman bakau di Mangrove dimana bentuk akar dari padi
berbentuk serabut karena genangan air yang terdapat di sawah tidak setinggi di
mangrove. Kemudian kaitan komponen abiotik terhadap tanaman hortikultura di
Kebun Raya Bedugul cenderung heterogen karena suhu di tempat tersebut cocok
untuk tanaman perkebunan, dimana tanaman perkebunan memerlukan suhu yang relatif
rendah.
4.
Dari observasi yang kelompok kami
lakukan tidak terdapat rumah kaca di sawah maupun di Mangrove. Namun di Kebun
Raya Bedugul terdapat rumah kaca yang di dalamnya tanaman kaktus, dimana
tanaman kaktus memerlukan suhu yang tinggi untuk tempat hidupnya sehingga
dibuatlah rumah kaca di Kebun Raya Bedugul untuk membuat suhu ruangan tetap
stabil sesuai habitat hidup tanaman kaktus
5.
Menurut pendapat kami, Kebun Raya,
Mangrove dan sawah merupakan ekosistem buatan, karena ketiga tempat tersebut
sengaja dibuat dan ditata sedemikian rupa untuk dapat dimanfaatkan sesuai
dengan fungsinya tanpa harus mengganggu habitat hidup organisasi tersebut.
Daur
materi dan daur energi dalam ekosistem mangrove dapat diawali dari biomassa
mangrove. Akumulasi biomassa merupakan total bahan tumbuhan yang dihasilkan di
atas dan di bawah permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Umumnya hutan
mangrove sangat produktif. Produktifitas itu tergantung pada karbon yang
terinkoorporasi dalam proses fotosintesis yang menghasilkan bahan tumbuhan
baru. Produksi biomassa pada kurun waktu terntentu sangat sukar diukur dan
sangat bervariasi. Produktivitas hutan mangrove dapat sangat kecil jika keadaan
lingkungan tidak menguntungkan.
Daun
mangrove yang gugur sebagai serasah daun akan didekomposisi oleh jasad renik
yang akan dimakan oleh ikan atau detritus. Zat hara sangat berguna sebagai
penyubur tanah dan sebagai makanan mikrofauna di hutan mangrove. Mikrofauna
pemakan ditritus akan dimakan oleh ikan-ikan atau fauna yang lebih besar akan
dimakan tingkat fauna yang lebih tinggi. Rantai makan tersebut akan terus
berputar pada ekosistem hutan mangrove asal tidak ada pemutusan terhadap unsur
pada rantai makanan tersebut. Sumber : http://www.environment.gov.au
Sawah merupakan ekosistem buatan
manusia. Manusia memiliki peranan penting dalam mengelola lahan sawah agar
dapat memperoleh hasil untuk bahan pangan terutama padi yang merupakan
keperluan pokok sehari-hari. Jenis vegetasi yang ada di sawah cenderung homogen
yaitu tanaman padi yang mendominasi persawahan. Dalam daur materi dan aliran
energi di persawahan, padi yang merupakan produsen pertama akan dimanfaatkan
oleh ulat, belalang, tikus sebagai konsumen pertama. Kemudian konsumen pertama
tersebut akan dimanfaatkan oleh konsumen kedua yaitu burung dan ular, dan
selanjutnya konsumen ketiga yaitu burung elang akan memakan burung kecil dan
ular tersebut. Selain dimakan oleh hewan-hewan yang hidup di persawahan,
sisa-sisa tanaman padi setelah panen akan didekomposisi oleh bakteri yang
kemudian dapat dimanfaatkan oleh mikrofauna yang terdapat di dalam tanah yang
akan menyuburkan tanah persawahan.
Kebun Raya Bedugul merupakan
ekosistem buatan manusia, dimana terdapat berbagai jenis tanaman hortikultura
seperti kaktus, anggrek, begonia, paku-pakuan, pinus, dll. Serta dimanfaatkan
sebagai habitat berbagai jenis hewan diantaranya monyet, ular, burung, ulat,
kupu-kupu, dll. Jika dilihat dari daur materi dan aliran energi pada Kebun
Raya, dengan terdapatnya berbagai jenis tanaman yang dapat menyediakan makanan
yang melimpah bagi hewan herbivora dan disisi lain akan menarik hewan
karnivora. Daun-daun sisa tumbuhan juga dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk
kompos untuk menyuburkan tanaman yang tumbuh di Kebun Raya Bedugul
Jenis ekosistem
|
Jenis/ varietas vegetasi
|
Suhu udara pada sinar matahari langsung
(termometer ruangan)
|
Suhu udara di bawah pohon
(termometer ruanagn)
|
Suhu udara dalam rumah kaca
(termometer ruangan)
|
Tekanan udara
(barometer)
|
pH tanah
(soil tester)
|
Kelembaban tanah
(soil tester)
|
Suhu permukaan tanah
(termometer tanah)
|
Ketinggian dari permukaan laut
|
Foto
|
|||
Nama lokal
|
Nama ilmiah
|
||||||||||||
Pegunungan
(kebun raya eka karya bali)
|
1. Anggrek Kalajengking
2. Anggrek Tanah
3. Anggrek Hitam
4.Rumput –rumputan
5. Paku – pakuan
6. Terong – terongan
7. Sirih – sirihan
8. Lateng
9. Paku lumut
10. pinangan
11. Semak
12. Padang ulut – ulut
13. Begonia
|
Arachnis flos-aeris
Spathologlottisplicata
Coelogyne pandurata
Andropogon aciculatus
Asplenium
Solanum
Piper
Urtica dioic
Salagilnella
Pinanga colihii
Laportea sp
Oplismenus sp
Begonia
|
34°C
|
25°C
|
|
761
|
5,2
|
4
|
19°C
|
|
|
||
Persawahan
|
1. Padi
|
Oryza sativa
|
35°C
|
33°C
|
-
|
760
|
6
|
WET
|
32°C
|
|
|
||
Pantai
(Balai Mangrove Bali )
|
1. Bakau putih
2. Bakau hitam
3. Lindur
4. Mentigi
5. Api – api
6. Padada bogem
7. Pidada
8.Nyirih
9. Kacangan
10. Api – api balah
11.Madengan
12. Paku laut
13. Jeruju hitam
14. Kwanji
15. Katang – katang
16. Sesepi
17.Camplung
18. Bintaro
19. Mengkudu
20. Basang siap
|
Rhizophora apiculata
Rizhophora mucronata
Bruguiera gymnorrhiza
Ceriops tagal
Avicennia marina
Sonneratia alba
Sonneratia caseolaris
Xylocarpus granatum
Aegiceras corniculatum
Lumnitzera racemosa
Exoecaria agallocha
Acrosticum aureum
Acanthus ilicifolius
Ipomea pes- caprae
Sesuvium portulacastrum
Calophyllum inophylum
Cerbera
manghas
Morinda citrifolia
Finlaysonia maritima
|
35°C
|
|
-
|
766
|
4,4
|
WET
|
26°C
|
|
|
20
|
BAB
V
SIMPULAN
Dari hasil pengamatan yang telah kami lakukan dapat disimpulkan bahwa hutan
Mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara
teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi
tidak terpengaruh oleh iklim. Vegetasi
tanaman yang mendominasi hutan Mangrove cenderung homogen yaitu tanaman
bakau.
Perbedaan karakteristik komponen abiotik dengan jenis vegetasi yang
mendominasi (tanaman bakau) yaitu komponen air dan tanah (abiotik) terhadap
tanaman bakau di Mangrove, dimana tanah yang berlumpur lebih sering tergenang
air sehingga tanaman bakau beradaptasi dengan akar yang tinggi dan panjang
untuk menunjang kehidupannya dalam penyerapan nutrisi dan oksigen serta daun
yang tebal untuk mengurangi penguapan, sedangkan kaitan komponen abiotik
terhadap tanaman padi di sawah yaitu bentuk akar yang jauh berbeda dengan
tanaman bakau di Mangrove dimana bentuk akar dari padi berbentuk serabut karena
genangan air yang terdapat di sawah tidak setinggi di mangrove. Kemudian kaitan
komponen abiotik terhadap tanaman hortikultura di Kebun Raya Bedugul cenderung
heterogen karena suhu di tempat tersebut cocok untuk tanaman perkebunan, dimana
tanaman perkebunan memerlukan suhu yang relatif rendah.
21
|
DAFTAR PUSTAKA
Barnes, B.V. Zak, D., Dentan, R.S. and Spuur, H.S. (1998). Forest Ecology. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Krebs, J.C. (1985). Ecology : The Experimental Analysisi of
Distribution and Abudance. Second
Edition. New York : Harper & Row. Publiser, Inc.
Krebs, J.C. (1997). Ecological Methodology. New York: Harper & Row. Publiser, Inc.
Kusmana, C. (1997). Metode Survey Vegetasi.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Moran, M.J., Morgan, P.M., Wiersma, H.J. (1987). Introduction to Environmental Science. New York: W.H. Freeman and Company.
Mueller-Doumbois, D. And Ellenberg, H. (1974). Aim
and Method of Vegetation Ecology. Canada: John Wiley &
Sons, Inc.
Odum, E.P. (1997). Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan. Samingan, T. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Robert, L.S. (1992). Element of Ecology. New York: HarperCollins Publiser.
Surasana, E. (1995). Pengentar Ekologi Tumbuhan. Bandung: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Teknologi Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar