Rabu, 21 Januari 2015

BUDIDAYA PADI ORGANIK DENGAN METODE SRI



BUDIDAYA DAN KEUNGGULAN PADI ORGANIK
METODE SRI (System of Rice Intensification)

Pendahuluan
Pertanian organik sebenarnya bukan hal yang baru, termasuk budidaya tanaman padi. Sudah sejak dahulu nenek moyang kita membudidayakan padi tanpa bahan kimia yang saat ini di istilahkan pertanian organik.
Namun, kini beras organik dikatakan sebagai hal baru setelah puluhan tahun belakangan ini padi hanya dibudidayakan secara non-organik. Pengaplikasian pestisida dan pupuk kimia secara berlebihan pada pembudidayaan padi no-organik, maka berasnya pun menganduing residu pestisida. Padahal residu ini sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, bahkan pembudidayaan non-organik itupun mengancam kelestarian lingkungan.
Ditinjau dari perhitungan ekonomis, pertanian non-organik makin tidak dapat di pertanggungjawabkan karena harga sarana produksi pertanian sudah makin mahal. Akibatnya hasil akhir berupa keuntungan petani pun semakin kecil atau bahkan merugi.
Kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan sudah mendorong masayarakat pertanian untuk kembali kesistem pertanian organik, karena produk yang diharapkan bebas residu pestisida dan pupuk kimia. Selain ramah lingkungan, biaya untuk pertanian organikpun sangat rendah karena pupuk dan pestisida yang digunakan berasal dari alam sekitar petani. Bila dibeli harganya pun relative murah.Walaupun banyak keuntungan membudidayakan padi secara organik, masih banyak petani yang tidak tahu caranya, maka melalui tulisan ini kiranya dapat menjadi bahan informasi kepada petani agar terwujud budidaya padi secara organik.
Seiring dengan berkembangnya teknologi maka banyak bermunuculan teknis penanaman padi organik, salah satunya dengan Metode SRI (System of Rice Intensification) .Budidaya padi organik metode SRI mengutamakan potensi lokal dan disebut pertanian ramah lingkungan, akan sangat mendukung terhadap pemulihan kesehatan tanah dan kesehatan pengguna produknya. Pertanian organik pada prinsipnya menitik beratkan prinsip daur ulang hara melalui panen dengan cara mengembalikan sebagian biomasa ke dalam tanah, dan konservasi air, mampu memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional.

1. 1novasi metode SRI
SRI adalah teknik budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% , bahkan di beberapa tempat mencapai lebih dari 100%. Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI. Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif. SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI
dilaksanakan di luar Madagaskar Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen.
Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya.

2 . Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI
1. Tanaman bibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit masih
berdaun 2 helai
2. Bibit ditanam satu pohon perlubang dengan jarak 30 x 30, 35 x 35 atau lebih jarang
3. Pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal
4. Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah (Irigasi berselang/terputus)
5. Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari dan diulang 2-3 kali dengan interval 10 hari
6. Sedapat mungkin menggunakan pupuk organik (kompos atau pupuk hijau)

3. Keunggulan metode SRI
1. Tanaman hemat air, Selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air max 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak ( Irigasi terputus)
2. Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam kurang dll.
3. Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hss, dan waktu panen akan lebih awal
4. Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton/ha
5.Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan Mikro-oragisme Lokal), begitu juga penggunaan pestisida.

4. Teknik Budidaya Padi Organik metode SRI
1. Persiapan benih


http://organikhijau.com/images/benih_pilah.jpg
 











Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka telur akan terapung.
Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih yang tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm (pipiti). Selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari benih padi sudah siap ditanam
2. Pengolahan tanah


http://organikhijau.com/images/macek2.jpg
 









Pengolahan tanah Untuk Tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhidar dari gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
3. Perlakuan pemupukan


PEMUPUKAN.jpg
 










Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
4. Pemeliharaan


i.jpg
 









Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus, cukup dengan kondisi tanah yang basah. Penggenangan dilakukan hanya untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi organik dapat dilakukan 3 sebagai berikut; pada umur 1-10 HST tanaman padi digenangi dengan ketinggian air ratarata 1cm, kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan tanaman digenang. Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenang dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian secara fisik dan mekanik





5. Pertanian Padi Organik Metode SRI dan Konvesional .
Sistem tanam padi SRI, pada prakteknya memiliki banyak perbedaan dengan sistem tanam Konvensional (Tabel 3)



 













6. Perbedaan Hasil Cara SRI dengan Konvensional
Kebutuhan pupuk organik dan pestisida untuk padi organik metode SRI dapat diperoleh dengan cara mencari dan membuatnya sendiri. Pembuatan kompos sebagai pupuk dilakukan dengan memanfaatkan kotoran hewan, sisa tumbuhan dan sampah rumah tangga dengan menggunakan aktifator MOL (Mikro-organisme Lokal) buatan sendiri, begitu pula dengan pestisida dicari dari tumbuhan behasiat sebagai pengendali hama. Dengan demikian biaya yang keluarkan menjadi lebih efisien dan murah.Penggunaan pupuk organik dari  musim pertama ke musim berikutnya mengalami penurunan rata-rata 25% dari musim sebelumnya. Sedangkan pada metode konvensional pemberian pupuk anorganik dari musim ke musim cenderung meningkat, kondisi ini akan lebih sulit bagi petani konvensional untuk
dapat meningkatkan produsi apalagi bila dihadapkan pada kelangkaan pupuk dikala musim tanam tiba. Pemupukan dengan bahan organik dapat memperbaiki kondisi tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah, sehingga pengolahan tanah untuk metode SRI menjadi lebih mudah dan murah, sedangkan pengolahan tanah yang menggunakan pupuk anorganik terus menerus kondisi tanah semakin kehilangan bahan organik dan kondisi tanah semakin berat, mengakibatkan pengolahan semakin sulit dan biaya akan semakin mahal

Tabel.4. Analisa Usaha Tani Cara Konvensional dan metode SRI setelah musim
ke 2 dalam 1 ha














7. Manfaat Sistem SRI
Secara umum manfaat dari budidaya metode SRI adalah sebagai berikut
1. Hemat air (tidak digenang), Kebutuhan air hanya 20-30% dari kebutuhan air untuk cara
Konvensional
2. Memulihkan kesehatan dan kesuburan tanah, serta mewujudkan keseimbangan ekologi tanah
3. Membentuk petani mandiri yang mampu meneliti dan menjadi ahli di lahannya sendiri. Tidak tergantung pada pupuk dan pertisida kimia buatan pabrik yang semakin mahal dan terkadang langka
4. Membuka lapangan kerja dipedesaan, mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan keluarga petani
5. Menghasilkan produksi beras yang sehat rendemen tinggi, serta tidak mengandung residu kimia
6. mewariskan tanah yang sehat untuk generasi mendatang

8. Kesimpulan
Metode SRI menguntungkan untuk petani, karena produksi meningkat sampai 10 ton/ha, selain itu karena tidak mempergunakan pupuk dan pestisida kimia, tanah menjadi gembur, mikroorganisme tanah meningkat jadi ramah lingkungan. Untuk mempercepat penyebaran metode SRI perlu dukungan dengan kebijakan pemerintah pusat
maupun daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Mutakin, Jenal.2014.Padi Organik,[online],http://www garutkab.go.id /download _files /artic   le/ARTIKEL%20SRI.pdf,diakses 25 Desember 2014

Selasa, 20 Januari 2015

EKOLOGI TUMBUHAN : KOMPONEN EKOSISTEM DATARAN RENDAH ( MANGROVE)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar  Belakang
Hutan mangrove adalah sekelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut ( terutama di pantai yang terlindungi, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam ( Santono, et al. 2005 ).
Hutan mangrove di Indonesia, yang terbagi kedalam 2 (dua) zone wilayah geografi mangrove yakni Asia dan Oseania, kedua zona tersebut memiliki keanekaragaman tumbuhan, satwa dan jasad renik yang lebih besar disbanding Negara-negara lainnya. Hal ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumberdaya hutan mangrove dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem yang masing-masing menampilkan kekhususan dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat di dalamnya ( Santono et al, 2005 ).
Vegetasi sebagai komponen dalam ekosistem hutan merupakan hal yang sangat kompleks sehingga pengkajiannya tidak mudah di lakukan. Untuk menganalisis suatu vegetasi, dibutuhkan data taksonomi tumbuhan beserta data biologinya tumbuhan tersebut. Data analisis vegetasi dapat member berbagai informasi dalam aspek ekologi, misalnya mengetahui profil luar suatu vegetasi serta upaya konservasi kawasan mangrove.
Kawasan hutan mangrove di MIC Bali yang merupakan kawasan Hutan Raya yang dikelola oleh Balai Pengelolaan Hutan Mangrove merupakan salah satu komunitas dengan vegetasi mangrove yang sangat beragam. Wilayah intertidal yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut di kawasan mangrove di areal Tahura di Bali ini memiliki zonasi mangrove yang berbeda dan merupakan kawasan hutan mangrove yang tumbuh secara alami.
Kawasan hutan mangrove di Taman Hutan Raya Bali ini memilki komposisi jenis dan spesies mangrove yang beragam dengan zonasinya yang unik. Selain itu, kawasan hutan mangrove ini dijadikan kawasan ekowisata baik bagi wisatawan domestic ataupun wisatawan  mancanegara yang ingin menikmati panorama keindahan hutan mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Denpasar yang dapat di lakukan dengan berjalan santai meniti jembatan sepanjang 1,4 km menuju pantai. Keberadaan hutan mangrove Tahura Ngurah Rai disamping sebagai pusat Informasi Mngrove Bali juga berfungsi sebagai paru-paru Kota Denpasar.Data dasar mengenai komposisi hutan mangrove di lokasi tersebut di perlukan upaya konsevasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu studi penelitian analisa vegetasi hutan mangrove kawsan mangrove di MIC bali.
1.2.Tujuan
  1. Untuk mengetahui perbedaan vegetasi yang mendominasi ekosistem dataran rendah (hutan mangrove).
  2. Untuk mengetahui vegetasi yang mendominasi di dataran rendah (hutan mangrove).
  3. Untuk mengetahui kaitan antara karakteristik komponen abiotik dengan jenis vegetasi yang mendominasi di dataran rendah (hutan mangrove).
  4. Untuk mengetahui perbedaan karakteristik mendasar berkaitan dengan daur materi dan aliran  energi dalam ekosistem dataran rendah (hutan mangrove).















BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi hutan Mnagrove dan Ekosistem Mangrove
Hutan Mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak dibagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut,dengan kelerengan kurang dari 8% ( Departemen Kehutanan, 1994 dalam santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropic yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas ( pasang surut air laut ) dan kedua sebagai individu spesies ( Macnae,1968 dalam Supriharnoyo, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan “ mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering juga disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu system di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan dominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau ( Santoso,2000 ).


 











Gambar 1. Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui mempunyai berbagai fungsi, yaitu seebagai penghasil bahan organic, tempat berlindung berbagai jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung pantai,mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang dan tannin ( Soedjarwo, 1979 ).
Sebagai salah satu ekoistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat ( tempat tinggal ), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagaipengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industry, dan penghasil bibit (Soedjarwo, 1997).

2.2 Zonasi Penyebaran Mangrove
Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Mangrove yang kondisinya buruk karena terganggu, atau berada pada daerah pantai yang sempit, tidak menunjukan keteraturan dalam pembagian jenis pohon dan zonasi di sepanjang pantai. Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya difaham dengan jelas. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian zonasi terkait dengan respons jenis tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi tanah mempunyai kontribusi besar dalam membentuk zonasi penyebaran tanaman dan hewan seperti perbedaan spesies kepiting pada kondisi tanah yang berbeda. Api-api dan pedada tumbuh sesuai di zona berpasir, mangrove cocok untuk di tanah berlumpur dan kaya humus sedangkan jenis tancang menyukai tanah berlempung dengan sedikit bahan organik. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan  antar spesies, merupakan factor lain dalam penentuan zonasi ini (Onrizal, 2007).
Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon pedada dan api-api sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis bakau ( Rhizophora spp ). Daerah ini tidak terlalu terendam air, hanya kadang-kadang saja terendam air. Pohon tancang tumbuh di daerah berikutnya makin menjauhi laut, kearah daratan. Daerah ini tanahnya agak keras karena hanya sekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya ( Onrizal, 2007).
 






Gambar 2. Zonasi Penyebaran jenis pohon mangrove (Onrizal, 2007).

2.3 Analisis komunitas Tumbuhan
Analisis kominitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunits adalah untuk mengetahui komposisi spesies struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006).
Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organism (Soegianto, 1994). Lebih lanjut Soegianto (1994) menjelaskan, bahwa hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relative suatu spesies dapat mempengaruhi funsi suatu komunitas, distribusi individu antar spesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan system dan akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas komunitas.
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat di lakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif  dengan parameter kuantitatif (Soerianegara & Indrawan , 1998). Namun persoalan yang sangat penting dalam analisis komunitas adalah bagaimana cara mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua spesies tumbuhan yang menyususn komunitas , parameter kuantitatif dan kualitatif apa saja yang di perlukan, penyajian data, dan interprestasi data, agar dapat mengemukakan komposisi floristic serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh (Arief, 1994)
2.3.1  Parameter Kuantitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan
Untuk Kepentingan analisis komunitas tumbuhan diperlukan kualitatif, hal ini sesuai dengan sifat komunitas tumbuhan itu sendiri bahwa dia memiliki sifat kualitatif dan sifat kuantitatif. Beberapa parameter kualitatif komunitas tumbuhan antara lain: fisiognomi, fenologi, stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, dan bentuk pertumbuhan  (Indriyanto, 2006).
1.      Fisiognomi adalah penampakan luar dari suatu komunitas tumbuhan yang dapat dideskripsikan berdasarkan kepada penampakan spesies tumbuhan dominan, penampakan tinggi tumbuhan, dan warna tumbuhan yang tampak oleh mata.
2.      Fenologi adalah perwujudan spesies pada setiap fase dalam siklus hidupnya. Bentuk dari tumbuhan berubah-ubah sesuai dengan umurny, sehingga spesies yang sama dengan tingkat umur yang berbeda akan membentuk struktur komunitas yang berbeda. Spesies yang berbeda pasti memiliki fenologi yang berbeda, sehingga keanekaragaman spesies dalam satu komunitas akan menentukan struktur komunitas tersebut.
3.      Stratifikasi adalah distribusi tumbuhan dalam ruangan vertical. Semua spesies tumbuhan dalam komunitas tidak sama ukurannya, serta secara vertical tidak menempati ruang yang sama.
4.      Kelimpahan adalah parameter kualitatif yang mencerminkan distribusi relative spesies organism dalam komunitas. Menurut penaksiran kualitatif, kelimpahan dapat dikelompokan menjadi: sangat jarang, jarang ( kadang-kadang), sering, banyak atau berlimpah , dan sangat banyak ( sangat berlimpah).
5.      Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan spesies organism pada ruang secara horizontal, antara lain random, seragam, dan kelompok.
6.      Daya hidup atau vitalitas adalah tingkat keberhasilan tumbuhan untuk hidup dan tumbuh normal, serta kemampuan untuk bereproduksi.
7.      Bentuk pertumbuhan adalah penggolongan tumbuhan menurut bentuk pertumbuhannya, habitat, atau menurut karakteristik lainnya. Misalnya pohon, semak,perdu, herba dan liana.
2.3.2  Parameter Kuantitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan
Banyak parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari segi struktur komunitas maupun tingkat kesamaanya dengan komunitas lainnya. Parameter yang dimaksud untuk kepentingan tersebut adalah indeks keragaman spesies dan indeks kesamaan komunitas (Soegianto,1994 dalam indrianto,2006). Kelimpahan setiap spesies individu atau jenis struktur biasanya dinyatakan sebagai suatu persen jumlah total spesies yang ada dalam komunitas, dan dengan demikian merupakan pengukuran yang relative. Secara bersama-sama, kelimpahan dan frekuensi adalah sangat penting dalam menentukan struktur komunitas (Michael,1994).
Di antara beberapa parameter yang telah disebutkan di atas akan dijelaskan satu persatu sebagai berikut:
a.    Densitas
Densitas adalah jmlah individu per unit luas atau per unit volume. Dengan kata lain, densitas merupakan jumlah individu organism persatuan ruang.
b.    Frekuensi
Di dalam ekologi, frekuensi dipergunakan untuk menyatakan proporsi antara jumlah sempel yang berisi suatu sepesies tertentu terhadap jumlah total sempel. Frekuensi spesies tumbuhan adalah jumlah petak contoh tempat diketemukannya suatu spesies dari jumlah petak contoh yang dibuat. Frekuensi merupakan besarnya intensitas diketemukannya suatu spesies organism dalam pengamatan keberadaan  organisme pada komunitas dan ekosistem. Apabila pengamatan dilakukan pada petak-petak contoh, makin banyak petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, berarti makin besar frekunesi spesies tersebut. Sebaliknya, jika makin sedikit petak contoh yang di dalamnya ditemukan suatu spesies, makin kecil frekuensi spesies tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya frekuensi tersebut dapat menggambarkan tingkat penyebaran spesies dalam habitat yang di pelajari, meskipin belum dapat menggambarkan tentang pola penyebaran.
c.       Luas Penutupan
Luas penutupan ( Coverage ) adalah proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar ( luas basal area ). Beberapa penulis menggunakan istilah dominasi untuk menyatakan luas penutupan suatu spesies tumbuhan karena parameter tersebut merupakan bagian dari parameter yang digunakan untuk menunjukan spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas.
d.      Indeks Nilai enting
Indeks nilai penting ( importance value index ) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi ( tingkat penguasaan ) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan ( Soegianto, 1994 dalam Indrianto,2006 ). Spesies-spesies yang dominan dalam suatu komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi, sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling besar. Mengingat parameter-parameter terdahulu seperti kerapatan, frekuensi, dan luas penutupan tidak dapat digunakan satu demi satu untuk menunjukan kedudukan relative spesies dalam suatu komunitas, maka Curtis dam Mc. Intosh telah mengusulkan sebuah indeks yang disebut indeks nilai penting (INP) sebagai jumlah kerapatan relative, frekuensi relative, dan luas penutupan relative. Dengan demikian, rumus INP dapat di tuliskan sebagai berikut:
INP = KR+ FR+ DR

 
     I                                    

Keterangan :        
INP          : Indeks Nilai Penting
KR           : Kerapatan Relatif
FR                        : Frekuensi Relatif
DR           : Dominasi Relatif                               ( Indrianto, 2006).
2.4 Metode Inventore Hutan
Pengambilan contoh untuk analisis komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan metode petak, metode jalur ataupun metode kuadran.
a.    Metode Petak merupakan prosedur yang paling umum digunakan untuk pengambilan contoh berbagai tipe organis termasuk komunitas tumbuhan. Petak yang digunakan dapat berbentuk segiempat, persegi panjang atau lingkaran. Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan dapat digunakan petak tunggal atau petak ganda.
b.    Metode jalur merupakan metode yang paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi dan elevasi. Jalur-jalur contoh dibuat memotong garis kontur dan sejajar satu dengan yang lainnya.
c.    Metode garis bertapak metode dianggap sebagai modifikasi dari metode petak ganda atau metode jalur, yaitu dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak tertentu yang sama.
d.   Metode kombinasi metode kombinasi yang dimaksud dalah kombinasi dari metode jalur garis bertepak.
e.    Metode kuadran metode kuadran atu metode titik pusta kuadran adalah metode sampling tanpa petak contoh yang dilakukn secara efisien dalam pelaksanaannya di lapangan tidak memerlukan waktu yang lama dan mudah dikerjakan ( Kusuma, 1997 dalam Indrianto 2006). Metod kuadran umumnya dipergunakan untuk pengambilan contoh vegetasi tumbuhan jika hanya vegetasi pohon yang jd objek kajiannya. Syarat penetapan metode ini adalah distribusi pohon yang akan diteliti secara acak. Dengan kata lain, bahwa metode  ini kurang tepat digunakan jika populasi pohon berdistribusi mengelompok atau seragam ( Soegianto, 1994 dalam Indrianto, 2006)

2.5 Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I Denpasar
BPHM Taman Hutan Raya adalah sebuah Institusi yang secara khusus bertanggung jawab terhadap pengelolaan hutan mangrove di Indonesia dengan menerbitkan Peraturan Mentri Kehutanan nomor : P.4 / Menhut-II/2007 tanggal 6 februari 2007 yang isinya tentang organisasi dan Tata Kerja Balai Pengelolaan Hutan Mangrove yang secara teknis wilayah kerjanya dibagi menjadi dua. BPHM-I yang berpusat di Bali mewakili wilayah Jawa, Bali, Sulawesi, NTB, NTT, Kepulauan Maluku dan Papua. Sedangkan BPHM-II mewakili wilayah Sumatra dan Kalimantan (  BPHM 2012) Gambar 3. Wilayah Taman Hutan Raya Bali ( BPHM 2012)

BPHM memiliki tugas-tugas seperti penyusunan rencana dan program pengembangan kelembagaan, pengelolaan system informasi dan pemantau dan evaluasi pengelolaan hutan mangrove. Salah satu bentuk pengelolaan yang di buat di Tahura adalah pembuatan Tracking, di manfaatkan untuk para pengunjung yang dating untuk wisata atau mengadakan studi lapangan di wilayah tahura (BPHM 2012).
Gambar 4. Peta Tracking di Tahura ( BPHM,2012).



















BAB III
PROSEDUR KEGIATAN

3.1. Tujuan
  1. Mengenal dan mempelajari karakteristik komponen-komponen penyusun ekosistem dataran rendah (PANTAI), menengah (PERSAWAHAN) dan dataran tinggi (PEGUNUNGAN)
  2. Membandingkan karakteristik komponen ketiga ekosistem tersebut.

3.2. Bahan dan Alat
  1. Ekosistem pantai (Balai Mangrove Bali dan sekitarnya,ekosistem persawahan,ekosistem pegunungan(Kebun Raya Eka Karya Bali dan sekitarnya).
  2. Thermometer ruangan
  3. Termometer tanah
  4. Soil tester
  5. Barometer
  6. Kamera digital
  7. Alat tulis

3.3. Prosedur Kegiatan
  1. Bentuk 3 kelompok!
  2. Lakukan pengamatan di 3 jenis ekosistem di atas (usahakan pengamatan dilakukan pada rentangan jam yang sama) !
  3. Amati, catat dan foto komponen biotik berupa vegetasi (jenis-jenis tanaman) di masing-masing tipe ekosistem ( pengamatan seluas ± 1 Km2)!
  4. Ukur dan catat komponen abiotik menggunakan alat yang telah disiapkan pada lokasi yang terkena sinar matahari langsung dan tidak langsung sesuai tabel di bawah!

Ph        =  (Pu – h/100) cmHg
Ph        =  tekanan pada ketinggian h
Pu        =  tekanan udara permukaan air laut
         =  tinggi suatu tempat
untuk mencari ketinggian
h          =  (Pu-Ph) x 100 m
cari tahu melalui media cetak maupun internet mengenai cara menggunakan termometr, barometer, soil tester.

  1. Dokumentasikan ( foto dan rekam) setiap data dan kegiatan yang dilakukan
  2. Masukkan data ke dalam tabel di bawah!
  3. Jawablah pertanyaan arahannya dalam BAB II, pembahasan!
  4. Buatlah laporan hasil kegiatan!
  5. Presentasikan laporan hasil pengamatan sesuai topik ( lihat rangkuman tugas)!























BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah kami lakukan, maka dapat kami rangkum sesuai dengan pertanyaan dan pembahasan sebagai berikut :
1.        Apakah terdapat perbedaan vegetasi yang mendominasi masing-masing ekosistem yang diamati? Jelaskan
2.        Di luar Kebun Raya Eka Karya Bali, vegetasi apakah yang mendominasi? Apakah  seanekaragam seperti di Kebun Raya Eka Karya Bali atau cenderung homogen? Uraikan argumen Anda!
3.        Apakah ada kaitan antara karakteristik komponen abiotik dengan jenis vegetasi yang mendominasi? Jelaskan
4.        Apakah ada tanaman yang ditempatkan dalam rumah kaca? Jika ada, uraikan alasannya
5.        Manakah yang termasuk ekosistem alami dan ekosistem buatan? Jelaskan perbedaan karakteristik mendasar berkaitan dengan daur materi dan aliran  energi dalam ekosistem tersebut!

JAWABAN:
1.        Ada. Terdapat perbedaan vegetasi yang mendominasi di Mangrove, Kebun Raya Bedugul dan sawah. Adapun tanaman yang mendominasi di Mangrove adalah tanaman bakau, jika di Bedugul tanaman yang mendominasi adalah tanaman hortikultura, sedangkan di sawah yang mendominasi adalah tanaman padi. Jadi terdapat  perbedaan tanaman yang signifikan diantara ketiga tempat tersebut.
2.        Vegetasi yang mendominasi baik di sawah maupun Mangrove cenderung homogen. Tanaman yang mendominasi Sawah adalah tanaman padi sedangkan yang mendominasi Mangrove adalah tanaman bakau.
3.        Ada kaitan antara karakteristik komponen abiotik dengan jenis vegetasi yang mendominasi (tanaman bakau) yaitu komponen air dan tanah (abiotik) terhadap tanaman bakau di Mangrove, dimana tanah yang berlumpur lebih sering tergenang air sehingga tanaman bakau beradaptasi dengan akar yang tinggi dan panjang untuk menunjang kehidupannya dalam penyerapan nutrisi dan oksigen serta daun yang tebal untuk mengurangi penguapan, sedangkan kaitan komponen abiotik terhadap tanaman padi di sawah yaitu bentuk akar yang jauh berbeda dengan tanaman bakau di Mangrove dimana bentuk akar dari padi berbentuk serabut karena genangan air yang terdapat di sawah tidak setinggi di mangrove. Kemudian kaitan komponen abiotik terhadap tanaman hortikultura di Kebun Raya Bedugul cenderung heterogen karena suhu di tempat tersebut cocok untuk tanaman perkebunan, dimana tanaman perkebunan memerlukan suhu yang relatif rendah.
4.        Dari observasi yang kelompok kami lakukan tidak terdapat rumah kaca di sawah maupun di Mangrove. Namun di Kebun Raya Bedugul terdapat rumah kaca yang di dalamnya tanaman kaktus, dimana tanaman kaktus memerlukan suhu yang tinggi untuk tempat hidupnya sehingga dibuatlah rumah kaca di Kebun Raya Bedugul untuk membuat suhu ruangan tetap stabil sesuai habitat hidup tanaman kaktus
5.        Menurut pendapat kami, Kebun Raya, Mangrove dan sawah merupakan ekosistem buatan, karena ketiga tempat tersebut sengaja dibuat dan ditata sedemikian rupa untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya tanpa harus mengganggu habitat hidup organisasi tersebut.
Daur materi dan daur energi dalam ekosistem mangrove dapat diawali dari biomassa mangrove. Akumulasi biomassa merupakan total bahan tumbuhan yang dihasilkan di atas dan di bawah permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Umumnya hutan mangrove sangat produktif. Produktifitas itu tergantung pada karbon yang terinkoorporasi dalam proses fotosintesis yang menghasilkan bahan tumbuhan baru. Produksi biomassa pada kurun waktu terntentu sangat sukar diukur dan sangat bervariasi. Produktivitas hutan mangrove dapat sangat kecil jika keadaan lingkungan tidak menguntungkan.
Daun mangrove yang gugur sebagai serasah daun akan didekomposisi oleh jasad renik yang akan dimakan oleh ikan atau detritus. Zat hara sangat berguna sebagai penyubur tanah dan sebagai makanan mikrofauna di hutan mangrove. Mikrofauna pemakan ditritus akan dimakan oleh ikan-ikan atau fauna yang lebih besar akan dimakan tingkat fauna yang lebih tinggi. Rantai makan tersebut akan terus berputar pada ekosistem hutan mangrove asal tidak ada pemutusan terhadap unsur pada rantai makanan tersebut. Sumber : http://www.environment.gov.au
            Sawah merupakan ekosistem buatan manusia. Manusia memiliki peranan penting dalam mengelola lahan sawah agar dapat memperoleh hasil untuk bahan pangan terutama padi yang merupakan keperluan pokok sehari-hari. Jenis vegetasi yang ada di sawah cenderung homogen yaitu tanaman padi yang mendominasi persawahan. Dalam daur materi dan aliran energi di persawahan, padi yang merupakan produsen pertama akan dimanfaatkan oleh ulat, belalang, tikus sebagai konsumen pertama. Kemudian konsumen pertama tersebut akan dimanfaatkan oleh konsumen kedua yaitu burung dan ular, dan selanjutnya konsumen ketiga yaitu burung elang akan memakan burung kecil dan ular tersebut. Selain dimakan oleh hewan-hewan yang hidup di persawahan, sisa-sisa tanaman padi setelah panen akan didekomposisi oleh bakteri yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh mikrofauna yang terdapat di dalam tanah yang akan menyuburkan tanah persawahan.
            Kebun Raya Bedugul merupakan ekosistem buatan manusia, dimana terdapat berbagai jenis tanaman hortikultura seperti kaktus, anggrek, begonia, paku-pakuan, pinus, dll. Serta dimanfaatkan sebagai habitat berbagai jenis hewan diantaranya monyet, ular, burung, ulat, kupu-kupu, dll. Jika dilihat dari daur materi dan aliran energi pada Kebun Raya, dengan terdapatnya berbagai jenis tanaman yang dapat menyediakan makanan yang melimpah bagi hewan herbivora dan disisi lain akan menarik hewan karnivora. Daun-daun sisa tumbuhan juga dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos untuk menyuburkan tanaman yang tumbuh di Kebun Raya Bedugul
  

Jenis ekosistem
Jenis/ varietas vegetasi
Suhu udara pada sinar matahari langsung
(termometer ruangan)
Suhu udara di bawah pohon
(termometer ruanagn)
Suhu udara dalam rumah kaca
(termometer ruangan)
Tekanan udara
(barometer)
pH tanah
(soil tester)
Kelembaban tanah
(soil tester)
Suhu permukaan tanah
(termometer tanah)
Ketinggian dari permukaan laut
Foto
Nama lokal
Nama ilmiah
Pegunungan
(kebun raya eka karya bali)
1. Anggrek Kalajengking

2. Anggrek Tanah

3. Anggrek Hitam

4.Rumput –rumputan

5. Paku – pakuan

6. Terong – terongan

7. Sirih – sirihan
8. Lateng

9. Paku lumut

10. pinangan


11. Semak

12. Padang ulut – ulut

13. Begonia

Arachnis flos-aeris

Spathologlottisplicata

Coelogyne pandurata

Andropogon aciculatus
Asplenium

Solanum

Piper

Urtica dioic

Salagilnella

Pinanga colihii
Laportea sp

Oplismenus sp
Begonia
34°C
25°C
17
33°C
761
5,2
4
19°C


Persawahan
1. Padi
Oryza sativa
35°C
33°C
-
760
6
WET
32°C


Pantai
(Balai Mangrove Bali )

1. Bakau putih
2. Bakau hitam
3. Lindur

4. Mentigi
5. Api – api

6. Padada bogem
7. Pidada

8.Nyirih

9. Kacangan

10. Api – api balah
11.Madengan


12. Paku laut


13. Jeruju hitam

14. Kwanji


15. Katang – katang

16. Sesepi



17.Camplung



18. Bintaro

19. Mengkudu


20. Basang siap
Rhizophora apiculata
Rizhophora mucronata
Bruguiera gymnorrhiza
Ceriops tagal
Avicennia marina
Sonneratia alba
Sonneratia caseolaris
Xylocarpus granatum
Aegiceras corniculatum
Lumnitzera racemosa
Exoecaria agallocha
Acrosticum aureum
Acanthus ilicifolius
19
Clerodendron inerme
Ipomea pes- caprae
Sesuvium portulacastrum
Calophyllum inophylum
Cerbera manghas

Morinda citrifolia
Finlaysonia maritima

35°C
18
32°C
-
766
4,4
WET
26°C


20


BAB V
SIMPULAN

Dari hasil pengamatan yang telah kami lakukan dapat disimpulkan bahwa hutan Mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Vegetasi  tanaman yang mendominasi hutan Mangrove cenderung homogen yaitu tanaman bakau.
Perbedaan karakteristik komponen abiotik dengan jenis vegetasi yang mendominasi (tanaman bakau) yaitu komponen air dan tanah (abiotik) terhadap tanaman bakau di Mangrove, dimana tanah yang berlumpur lebih sering tergenang air sehingga tanaman bakau beradaptasi dengan akar yang tinggi dan panjang untuk menunjang kehidupannya dalam penyerapan nutrisi dan oksigen serta daun yang tebal untuk mengurangi penguapan, sedangkan kaitan komponen abiotik terhadap tanaman padi di sawah yaitu bentuk akar yang jauh berbeda dengan tanaman bakau di Mangrove dimana bentuk akar dari padi berbentuk serabut karena genangan air yang terdapat di sawah tidak setinggi di mangrove. Kemudian kaitan komponen abiotik terhadap tanaman hortikultura di Kebun Raya Bedugul cenderung heterogen karena suhu di tempat tersebut cocok untuk tanaman perkebunan, dimana tanaman perkebunan memerlukan suhu yang relatif rendah.












21
 
DAFTAR PUSTAKA

 Barnes, B.V. Zak, D., Dentan, R.S. and Spuur, H.S. (1998).  Forest Ecology.  New York: John Wiley & Sons, Inc.

Krebs, J.C. (1985).  Ecology : The Experimental Analysisi of Distribution and Abudance.  Second Edition.  New York : Harper & Row. Publiser,  Inc.

Krebs, J.C. (1997).  Ecological Methodology. New York: Harper & Row. Publiser, Inc.

Kusmana, C. (1997). Metode Survey Vegetasi.  Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Moran, M.J., Morgan, P.M., Wiersma, H.J. (1987).  Introduction to Environmental Science. New York: W.H. Freeman and Company.

Mueller-Doumbois, D. And Ellenberg, H. (1974). Aim and Method of Vegetation Ecology. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Odum, E.P. (1997). Dasar-dasar Ekologi. Terjemahan. Samingan, T.  Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Robert, L.S. (1992). Element of Ecology.  New York: HarperCollins Publiser.

Surasana, E. (1995).  Pengentar Ekologi Tumbuhan.  Bandung: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.  Institut Teknologi Bandung.